Tuesday, October 11, 2011

Laskar Pelangi dari Tapanuli Utara

Share


Kalau Andrea Hirata menulis sebuah novel berjudul “Laskar Pelangi” yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Saya juga termotivasi untuk menulis “Laskar Pelangi dari Tapanuli Utara” untuk berbagi pengalaman hidup di tengah-tengah beragamnya masyarakat dan budaya di Indonesia. Kisah Laskar Pelangi juga telah mengilhami Sutradara Riri Riza untuk membuat film yang disutradarai oleh Mira Lesmana pada tahun 2008 yang lalu.

Izinkanlah saya juga menulis kisah dan berbagi pengalaman hidup melalui blog ini yang saya beri judul “Laskar Pelangi dari Tapanuli Utara”. Saya yakin bahwa Novel Andrea Hirata hanyalah satu dari ribuan kisah hidup dari masyarakat di berbagai pulau dan masyarakat di Indonesia, yang hidup di daerah miskin. Mudah-mudahan Laskar Pelangi dari Tapanuli ini, dapat menjadi inspirasi bagi orang-orang yang membaca.

DILAHIRKAN DI DESA KECIL
“Solok Sijarango” adalah nama debuah desa kecil di lereng gunung yang diapit oleh dua sungai di Kecamatan Pakkat, Kabupaten Tapanuli Utara (Sekarang sudah pemekaran dan menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan), Provinsi Sumatera Utara. Di desa itulah saya dilahirkan tanggal 2 April 1972. Sijarango adalah dunia saya yang pertama dimana Ayah saya Mukka Manik dan ibu saya Saorlina Banjarnahor mendidik dan membesarkan saya. Desa saya termasuk daerah yang subur, melimpah air dan sumber daya alam berupa hasil pertanian dan hasil hutan.

Mayoritas sumber penghasilan masyarakat di Sijarango adalah bertani, mengelola sawah dan ladang juga membuka lahan baru dengan membakar hutan. Menyadap pohon karet, menanam padi, singkong, ubi, jagung, sayur-sayuran, beternak ayam, beternak babi, beternak, kerbau, beternak bebek, beternak ikan, menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat desa Sijarango. Orang tua saya hanya berpendidikan setingkat SMP dan pekerjaannya menyadap karet, menanam padi di sawah, membuka lahan baru dan menanam singkong, jagung, sayur-sayuran dll.

PELAJARAN DARI KEPRIHATINAN DAN KEMISKINAN
Tanah yang subur dan hasil pertanian yang melimpah tidak membuat daerah Tapanuli Utara melepaskan statusnya sebagai “Peta Kemiskinan”. Mungkin kedengarannya janggal dan sulit diterima akal sehat. Menurut saya minimnya penghasilan masyarakat di Tapanuli Utara bukan disebabkan tidak adanya hasil produksi. Tetapi rendahnya nilai jual hasil-hasil pertanian di pasar, hal ini disebabkan oleh sulitnya sarana transportasi serta harga pasar yang dimonopoli oleh para Tengkulak. Sekedar perbandingan sekitar tahun 2000, harga pasar 1 Papan di Desa sekitar Rp.250,- sd. Rp.300,-. Barang yang sama bisa dijual kembali oleh Tengkulak ke Medan dengan harga Rp.700,- sd.1.000,- Dari satu papan pete Tengkulak mengambil untung sekitar Rp.700 sd 750.

Kebanyakan masyarakat di Desa hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi tidak terdeteksi oleh pemerintah. Bahkan sampai saat ini pun daerah Tapanuli Utara dikenal sebagai daerah minus atau dengan istilah semula “Peta Kemiskinan”.

MASUK SD TAHUN 1979
Kenangan pada masa-masa SD menyimpan keunikan tersendiri bagi saya. Awalnya masih takut dan malu di sekolah, sukar bergaul dan bersosialisasi mungkin merupakan sifat bawaan saya sejak kecil. Hal ini disebabkan karena pada masa kecil saya berada di lingkungan pergaulan yang kurang baik secara psikologis. Saya mempunyai teman-teman masa kecil yang merupakan anak dari keluarga kaya yang dapat memperlakukan saya secara tidak adil. Kalau saya tidak mengikuti kemauan mereka, saya akan kena sanksi sosial yaitu dikucilkan dalam pergaulan dengan anak-anak yang lainnya.

Saya tidak boleh mempunyai mainan yang lebih baik dari mereka, hal itu akan membuat mereka menghukum saya dengan cara dikucilkan. Saya masih ingat ketika keponakan yang datang dari Medan dan memberikan mainan mobil-mobilan yang bagus untuk saya. Anak-anak orang kaya ini memintanya dari saya dan saya tidak memberikannya sehingga saya dibenci dan dikucilkan oleh mereka.

Nampaknya keadaan seperti itu sekalipun membuat saya menderita, tetapi membawa manfaat tersendiri bagi saya. Tanpa sadar saya jadi malas keluyuran dengan mereka-mereka yang suka menghabiskan waktu mereka untuk bermain-main saja. Saya lebih senang tinggal di rumah mengerjakan hal-hal yang menurut saya berguna untuk saya kerjakan, antara lain membantu orang tua. Pergi ke sawah dan ladang, setelah sepulang sekolah SD dan pulang duluan sekitar jam 5 sore untuk memasak di rumah, memberi makan ternak ayam, dan babi lalu makan malam dengan keluarga dan belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Kalau dilihat dari ilmu gizi, maka kebanyakan teman-teman, termasuk saya sendiri pada masa itu dapat disebut kekurangan gizi. Sejak kecil hingga besar, bahkan hingga tamat SMU, hampir tidak pernah minum susu, makan daging bisa dihitung kurang dari 1x sebulan. Kebanyakan makan singkong dan sayur dari ladang juga makan buah-buah yang langsung dipetik dari hutan.

Satu pesan mendalam yang selalu ditanamkan orang tua kepada saya adalah agar, saya membatasi diri bergaul dengan orang-orang yang hidupnya bermain-main menghabiskan uang jajan mereka. Orangtua selalu berkata bahwa saya tidak pantas mengikuti mereka, karena mereka adalah anak-anak orang kaya dan punya banyak uang. Saya harus fokus belajar yang sungguh-sungguh dan bekerja membantu orang tua di ladang. Masih lekat dalam ingatan saya ketika ayah saya merantau ke Jambi selama 6 bulan dan ke Jakarta selama 2 tahun, tidak mengirimkan uang belanja. Saya terkadang terpaksa libur sekolah untuk dapat membantu Ibu memetik kopi di ladang yang letaknya sangat jauh dari rumah.

Prestasi belajar saya bisa dibilang lumayan bagus. Untuk masa itu anak-anak SD rata-rata bisa membaca setelah kelas 3 SD. Saya dan 2 orang teman saya sudah bisa membaca pada awal masuk kelas 2 SD, sementara kebanyakan anak-anak sekolah SD baru bisa membaca dan menulis di kelas 3 dan kelas 4, hal ini dapat dipahami karena tidak ada sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan juga anak-anak sehabis sekolah kebanyakan disuruh membantu orang tua ke ladang. Tamat SD saya menempati rangking-3 dari sekitar 27 orang lulusan sekolah di kampung saya– SD Negeri Sijarango II.

MASUK SMP TAHUN 1985
Awal masa-masa masuk SMP merupakan masa-masa yang paling sulit bagi semua orang di kampung saya, termasuk saya sendiri. Rasa takut, sedih, khawatir sering saya alami bahkan saya yakin juga hal tersebut dialami oleh kawan-kawan saya dari kampung. Kalau masa-masa SD kita masih dekat dengan kedua orangtua, dan tinggal di rumah kita sendiri. Tetapi sejak masuk SMP kira-kira berumur 12 Tahun kita harus hidup jauh dari orangtua, meninggalkan rumah di kampung dan tinggal kost di kecamatan sekitar 13 km berjalan kaki dari kampung.

Pada masa ini selain mengerjakan tugas-tugas sebagai siswa SMP saya juga harus mengurus diri sendiri, mencuci dan setrika pakaian sendiri, belanja kepasar, memasak sendiri, mengambil kayu bakar ke hutan, tinggal jauh dari orang tua menjadi kesedihan tersendiri bagi saya. Belum seperti sekarang, komunikasi serba mudah dengan telepon. Kalau sakit kita hanya bisa menangis, bersedih dan menahan sakit serta meminum obat warung yang seadanya. Kalau sudah sakit dan jauh dari orangtua, rasanya ingin berhenti saja sekolah supaya tinggal di rumah bersama dengan orang tua, tetapi hal itu akan membuat hati orangtua sedih. 

MENCARI KAYU BAKAR KE HUTAN
Perjuangan yang sangat berat juga harus kami lalui setiap 1 x 1 bulan secara rutin, dimana kami harus mengusahakan mencari kayu bakar untuk memasak di rumah kos. Kayu bakar ini hanya dapat kami temukan di hutan daerah pegunungan yang jaraknya sekitar 3-4 KM dari rumah kos dengan berjalan kaki. Basah kehujanan sambil memanggul kayu bakar, beberapa kali terjatuh dan kena lumpur, terperosok di perjalanan pulang, sudah menjadi hal yang biasa kami alami setiap mencari kayu bakar ke hutan. 
Sampai saat ini saya masih belum dapat melupakan ketika suatu saat saya dan adik saya, kami berdua mencari kayu bakar ke hutan di Gunung Simarsik (Salah satu nama gunung tempat pengambilan kayu bakar di Pakkat). Di tengah perjalanan menuju gunung-tempat mencari kayu bakar, hujan lebat disertai angin dan petir membuat perjalanan kami sangat sulit. Dengan tubuh yang basah, kedinginan dan rasa takut juga membuat kami agak ragu untuk melanjutkan perjalanan, tetapi mengingat perjalanan kami sudah sampai di lereng gunung, akhirnya kami putuskan untuk terus mendaki untuk mencari kayu bakar. Tetapi karena hujan belum reda, kami putuskan untuk berlindung di bawah pohon besar, sambil berjuang melawan rasa dingin akhirnya setelah kira-kira pukul 4 sore  hujan pun reda, dan kami langsung mencari kayu untuk kami tebang dan bawa pulang. Setelah berhasil menebang pohon, kami segera membawanya turun gunung. Setibanya di lereng gunung tersebut kami merasa lapar, tetapi tidak ada makanan dan akhirnya kami mengambil singkong mentah dari ladang dan daun lomas untuk kami makan sambil berjalan pulang. Sepanjang perjalanan itu saya berusaha meyakinkan adik saya untuk tidak takut, padahal saya sedang mengalami ketakutan. Dan akhirnya sekitar jam 7 malam kami baru tiba di rumah kos dengan memikul kayu bakar yang kami ambil dari hutan pada hari itu.

Sejak sekolah di SMP saya dan kawan-kawan bisa bertemu orang tua hanya hari Sabtu sore dan sampai Minggu sore. Sabtu setelah sepulang sekolah biasanya kita sangat senang pulang kampung sekalipun harus berjalan kaki sekitar 13 KM, dan besoknya Minggu sore kita sudah kembali ke rumah kost. Sampai saat ini saya masih terkenang bila hari Sabtu tiba, ada rasa sukacita dan kegembiraan karena akan bertemu dengan keluarga dan orangtua dikampung. Perjalanan yang penuh batu-batu sepanjang 13 km yang biasanya ditempuh sekitar 3 jam berjalan kaki, tetapi kalau hari Sabtu bisa ditempuh dengan waktu 1,5 sd. 2 jam saja. Kalau sudah ketemu hari Minggu rasanya malas meninggalkan kampung, jarak yang sama 13 km bisa ditempuh menjadi 3 sd. 4 jam perjalanan kaki.

Tantangan yang amat berat masa-masa SMP membuat banyak orang malas sekolah. Sebagian merasa terpaksa sekolah hanya karena takut orang tua marah. Bahkan ada teman saya yang kalau permintaannya tidak diturutin orangtua, dia mengancam orangtuanya akan berhenti sekolah. Keadaan tersebut sangatlah berbalik dengan pemahaman saya. Kalau orangtua meragukan kemampuan keuangan mereka untuk menyekolahkan saya, justru sayalah yang menangis. Anak-anak lain diberi uang jajan yang lebih besar supaya mereka rajin sekolah yaitu Rp.1.000,- per minggu. Sementara saya hanya sanggup diberi orang tua sebesar Rp.500,- per minggu. Tetapi saya tidak menyalahkan orangtua, melainkan saya kasihan melihat orangtua saya seperti itu.

Semua kesukaran, penderitaan dan ketidakadilan hidup yang menurut saya pada waktu itu, selalu saya tuangkan dengan lebih sungguh dan giat dalam belajar. Saya bertekat kalau saya mampu memberikan nilai raport yang lebih baik kepada orangtua saya dan itu akan membuat mereka senang dan semangat. Dan ternyata benar, saya mendapat nilai yang lebih baik bahkan bisa dibilang berprestasi dibanding dengan teman-teman saya dari kampung.
Pola yang hampir sama waktu SD juga terjadi dalam prestasi belajar saya di bangku SMP, pada awalnya yaitu kelas-1 masih banyak penyesuaian dan prestasi belajarnya belum terlihat. Tetapi setelah kelas II dan kelas III prestasi saya dapat dikatakan semakin meningkat. Sehingga bisa menjadi perhatian dari beberapa guru sekolah.

MASUK SMU TAHUN 1988
Irama yang sama waktu sekolah di SMP juga terdapat pada masa-masa SMU, tetapi tidak sesulit waktu SMP, mungkin karena sudah terbiasa selama 3 tahun di SMP. Saya melanjut ke SMU di kota yang sama yaitu SMU RK Swasta Pakakat.
Sama seperti baru-baru masuk di SMP, pada minggu pertama masuk di SMU ini juga kita mendapat Materi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sesudah itu masuk sekolah di kelas 1 SMU.

Ada banyak pengalaman unik pada masa-masa ini. Pertama, ketika henda memilih jurusan (Spesialisasi). Kurangnya bimbingan karir dan pengarahan mengenai jurusan Ekonomi (A3), Biologi (A2) dan Fisika (A1) pada waktu itu menciptakan kebingungan sendiri. Akhirnya saya memutuskan sendiri untuk memilih jurusan Sosial (Ekonomi) dengan pertimbangan untuk dapat lebih cepat mencari pekerjaan. Karena setahu saya pada masa itu, kalau ambil jurusan Biologi dan Fisika harus melanjut dulu di bangku kuliah baru bisa melamar pekerjaan. Hal ini terjadi karena kurangnya wawasan dan melihat kekurangmampuan orangtua untuk menyekolahkan saya sampai perkuliahan. Kesan tersendiri bagi saya ketika sudah sebulan duduk dibangku kelas II-IPS, beberapa guru masih menyarankan saya agar masuk ambil jurusan Fisika atau Biologi, karena melihat nilai-nilai saya yang juga cukup bagus untuk bidang itu. Tetapi saya tetap pada pendirian saya untuk melanjutkan di jurusan IPS atau (A3)

PENGHARGAAN YANG MEMACU SEMANGAT BELAJAR
Berawal dari penerimaan Raport kelas I SMU, semua orangtua diundang dan diwajibkan oleh Guru untuk menghadiri Nilai Raport anak-anak mereka. Awalnya saya tidak mengetahui kalau siswa-siswi berprestasi 10 besar mendapat piagam penghargaan yang diberikan kepada orangtua mereka, serta mendapat salam dari para guru. Dengan cemas saya berharap agar orangtua saya juga dipanggil ke depan dan menerima piagam penghargaan dari guru. Ternyata benar orangtua saya juga mendapat piagam penghargaan. Hal ini menimbulkan semangat tersendiri bagi saya untuk lebih lagi sungguh-sungguh belajar. Dan akhirnya tiap penerimaan rapor orangtua saya selalu mendapat penghargaan, saya melihat kebahagiaan tersendiri bagi orangtua saya di satu sisi. Tetapi di sisi lain, aku juga melihat adanya keresahan di mata orangtua karena mereka berpikir, saya sungguh-sungguh belajar dan berprestasi sementara mereka tidak mampu menyekolahkan saya sampai ke bangku kuliah.

Prestasi belajar saya semakin meningkat hingga pada akhirnya pada saat Semester V kelas III SMU saya sebenarnya menjadi Juara 1 Umum di sekolah itu. Tetapi yang uniknya saya diatur menjadi juara 2. Saya masih ingat waktu itu, guru matematika saya Bapak S Pane begitu menyenangkan dalam mengajar Matematika, sehingga setiap kuis saya selalu mendapat nilai 80 sd 100. Dan pada waktu ujian semester V dengan senang dia mengutarakan kebanggaannya kepada kelas kami bahwa nilai matematika tertinggi dari satu Rayon waktu itu berada di SMU kami. Saya berpikir itu adalah teman-teman, tetapi Bapak S Pane menjelaskan dengan cara yang mengejutkan. “orang itu berasal dari jurusan IPS”, demikian ucapannya lalu melihat kawan-kawan penasaran dan dilanjutkan “orang itu ada di kelas ini”., siapakah dia? “Saya ucapkan selamat untuk Lamtor Manik.” Ada rasa bangga dan sukacita yang luar biasa dalam hati saya melihat kegembiraan guru tersebut atas prestasi saya.

Aneh tetapi terjadi, tiba saat penerimaan raport. Saya memang tidak mengira kalau saya bisa menjadi juara umum sekolah pada masa itu. Orangtua saya dipanggil menerima piagam penghargaan juara ke-2 dan sudah sangat senang. Tetapi setelah saya lihat nilai-nilai raport saya. Nilai Matematika yang pertama saya lihat tertulis angka 6 (enam), angka yang sebelumnya dalam benak saya 9 (sembilan). Ada banyak pertanyaan dalam hati saya yang tidak dapat dijawab. Akhirnya saya bereaksi kepada guru matematika tersebut Bapak S.Pane. Setiap ada kuis, saya selalu ditanya dan saya selalu  menjawab “saya tidak tau Pak” dalam hati saya cuma dapat nilai 6 Matematika.

Selama kurang lebih 1 bulan saya bersikap seperti itu, Guru Matematika ini sudah mengerti, apa yang menjadi penyebabnya. Dan mungkin beliau sedang memikirkan bagaimana jalan keluarnya supaya saya kembali aktip dikelas Matematika. Sampai pada akhirnya beliau membukakan sendiri rahasianya. Sehabis belajar, beliau mengajak saya ke ruang kantornya hendak mengatakan sesuatu. Dan saya sungguh tidak menduga, dia tampil dengan  profesional memberitahukan saya hal yang sebenarnya sedang terjadi. Saya masih ingat kata-katanya : “Lamtor, saya bangga dengan kamu. Tetapi saya lihat belakangan ini kamu agak malas belajar Matematika”. “Kenapa?” lalu saya jawab “Ngga ada apa-apa Pak” “mungkin lagi kurang konsen aja kali Pak” lalu beliau bertanya: “Memang di raport kamu diberi nilai berapa Matematika?” saya jawab “Biasalah Pak dapat Nilai Enam” Selanjutnya beliau menjelaskan sambil mengeluarkan daftar nilai dari arsipnya, “Nih nilai yang saya kasih sama Walikelas Kamu”. Trus dilanjutkan, saya percaya kamu tidak akan membocorkan rahasia ini di sekolah. Saya memberitahu hal ini kepada kamu karena saya menganggap kamu sebagai teman dan sahabat saya. Beliau  melanjutkan, mungkin walikelas kamu sengaja memberikan nilai 6 Matematika supaya yang menjadi juara-1 umum itu berasal dari Katolik, jadi tidak mempermalukan Yayasan. Tetapi nanti pada saat lulus-lulusan nilai raport kamu akan dibetulkan.

Prestasi saya juga mencatat sejarah baru di sekolah karena sejak dari dulu belum pernah juara umum-1 berasal dari jurusan IPS. Dan selama ini jurusan IPS tidak pernah jadi favorit dan sering diledek oleh guru-guru yang mengajar di jurusan Fisika dan Bilogi. Tetapi pada waktu saya jadi juara umum, guru-guru saya juga turut merasa bangga dan membalas ledekan teman-teman mereka.

No comments:

Post a Comment